Tuhan yang Membuat

           
"TUHAN YANG MEMBUAT"
Al. Tandirassing, Pr.


           Di masa belia, pandanganku tertambat pada satu cara hidup yang aneh dan nyentrik. Semua berawal dari perjumpaan. Waktu itu, keanehan terlihat jelas pada sosok seorang pastor karena tampaknya ia dikenal oleh setiap orang hingga aku yang masih sangat hijau kemudian bertanya-tanya: siapakah dia? Mengapa dia begitu ramah pada setiap orang, bahkan ramah pada aku yang belum pernah ditemui sebelumnya? Mengapa dia begitu akrab dengan semua orang, bahkan akrab denganku sejak pertemuan pertama?
Ke-nyentrik-annya tampak jelas ketika kulihat bajunya berbeda dengan kebanyakan orang. Baju putih, panjang, dan sangat menarik perhatian (baca: jubah) dipadukan dengan baju besar (baca: kasula) yang sangat menawan. Melihat semua itu, pertanyaanku menjadi beribu. Parahnya, ketika kudengar bahwa mereka tidak mempunyai istri dan anak melainkan hidup sendiri, rasa penasaranku meluap. Mengapa ada orang hidup seperti itu? Siapakah gerangan orang-orang itu? Perlahan waktu berlalu, sosok yang kukenal sebagai pastor kemudian berganti orang, namun namanya tetap sama: pastor. Bagaimana mungkin dua-tiga-empat orang yang berbeda itu mempunyai nama sama, yakni pastor? Sekarang, kadang-kadang rasa malu menggerogotiku setiap kali kuingat masa kecil yang lugu dan pandir itu.
Namun perlahan pula, aku mulai bertumbuh matang dan memahami apa dan siapa itu pastor, hingga akhirnya kuputuskan untuk menjadi pastor di masa putih-biru. Rupanya, perjumpaan dengan para pastor sejak kecil itu kemudian menumbuhkan benih panggilan di dalam hidupku. Itukah cara Tuhan memanggilku secara rahasia? Mari kita tanyakan pada Tuhan. Pastinya, Tuhan selalu punya cara unik untuk memanggil siapa saja yang dikehendaki-Nya. Kuucapkan terima kasih pada para pastor yang pernah hadir di masa beliaku.
Akan tetapi ternyata rancangan Tuhan berbeda dengan rancangan manusia. Di masa putih-biru, aku melewatkan satu hari yang sangat berarti, yakni hari tes seminari. Aku tidak mengikuti tes. Aku lari dari panggilan Tuhan. Tetapi kemudian Ia menangkap aku seperti Yunus yang ingin lari dari panggilan itu. Maka di masa putih-abu, ketika aku menikmati indahnya masa SMA, ternyata panggilan Tuhan tetap menggema, bahkan gaungnya lebih keras dari masa lalu. Di hari tes, aku berangkat dengan hati terbuka dan memutuskan untuk mengikuti jalan Tuhan. Hidup harus memilih. Banyak yang harus dikorbankan, namun itulah pilihan. Jika memilih saja sulit, bagaimana menjalaninya?
Perjalanan panggilan pun dimulai (atau dilanjutkan?). Tidak semua hal berjalan mulus. Tawa dan tangis, peluh dan air mata, suka dan duka, menjadi hiasan perjalanan ini. Keterbatasan, kemanusiaan, kelemahan, kekurangan, ketidaksempurnaan dan ketidakberdayaan adalah pikulan yang selalu menarik aku untuk mundur. Namun persaudaraan, dukungan, doa, kebersamaan, perjumpaan, iman, kasih dan pengharapanlah yang selalu mendorong aku untuk maju. Maka kuucapkan terima kasih untuk siapa saja yang pernah meragukan aku dan terima kasih pula untuk siapa saja yang selalu mempercayaiku. Semua berlalu bukan karena kekuatan dan kehebatanku, melainkan karena “Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya” (Pkh. 3:11a). Tuhan yang membuat segala sesuatunya indah; bukan kita; bukan aku. Itu mottoku.

Kini ketika aku diperkenankan menikmati rahmat tahbisan imamat, itu berarti aku memulai hidup baru. Namun perjalanan hidup ini tetaplah seperti jalan yang berliku-liku dan penuh kerikil tajam. Bukan batu besar yang membuat orang tergelincir melainkan batu kerikil. Namun percayalah, untuk setiap orang Tuhan sudah punya rencana. Ia memanggil kita masing-masing dengan cara yang unik. Ia mengenal kita lebih dari kita mengenal diri sendiri. Ia pun mencintai kita lebih dari yang kita tahu. Maka ia akan menemani perjalanan kita sampai kapanpun. Hingga saat ini aku tetap percaya bahwa Tuhanlah yang selalu membuat segalanya menjadi indah.


Refleksi Tahbisan Imamat, 09 Agustus 2017

Komentar

Postingan Populer