Pengakuan


PENGAKUAN
- Aloysia -

Dari buku Kisah 7 Bidadari

Untukmu, Pedro. Dari Aloysia. Kenangan adalah satu-satunya harta yang tak bisa kau curi dariku. Namun jika kau nekat menghapusnya dari ingatanku, satu-satunya cara adalah membunuhku. Adakah kau setega itu hanya demi sebuah kenangan? Hanya demi kau diterima tahbisan? Hanya agar aku tidak menceritakan pada pimpinanmu bahwa kita pernah mengangkasa dan lupa pada dunia? Tidak. Aku tidak sebodoh itu.
Kita memang pernah menjalani hidup bersama seperti siapa, katamu? Seperti Romeo dan Juliet? Oh bukan. Seperti Rama dan Shinta? Bukan juga. Atau seperti Yesus dan Maria Magdalena? Mungkin.
Meski kini kamu telah berjubah, tapi kamu bukan Yesus. Aku pun bukan mantan pelacur seperti Maria dari Magdala, kan? Aku bukan penjaja apel di pinggir jalan yang memanggil setiap pria perkasa untuk mampir dan mencicipi buahku. Lagipula aku juga tidak akan bercerita pada siapa-siapa tentang apa yang pernah kita jalani, lakukan, dan rasakan. Kita tidak butuh diabadikan dalam Injil yang baru kan?
Aku tahu persis, tahbisan adalah cita-cita terluhur yang ada dalam benakmu waktu itu. Namun, bagiku tidak. Aku ragu. Kau pernah menanyakan apakah ada yang berubah dengan perutku. Aku sadar itu hanya pertanyaan basa-basi. Kalau pun aku menjawab iya, kamu pasti menyuruhku menggugurkannya sebelum hari tahbisanmu tiba. Aku tahu persis; aborsi itu dosa. Mestinya kamu tahu.
Sedikit pun aku tidak akan menyesal atas apa yang pernah terjadi karena bagiku tidak ada yang salah atas nama cinta. Cinta itulah yang membutakan mataku saat perlahan kau melepas kancing baju dan rokku dan melupakan jubah idamanmu. Dan kau ganas memangsaku seperti singa kelaparan bertahun-tahun. Tampaknya waktu itu kita benar-benar buta dan lupa pada diri masing-masing. Iblis sungguh lihai menggunakan kesempatan itu sampai aku lupa dosa. Namun bukan itu yang kusesali. Yang kukutuk adalah caramu memperlakukanku habis manis sepah dibuang.
Kini kenangan itu bagaikan kotoran yang tak bisa kau bersihkan dari bejana hatiku. Namun jika kau memaksa, kau bisa membasuhnya dengan darah segar yang kau tadah dari nadi pergelanganku. Atau kau bisa menyuap aku dengan roti dan anggur bercampur racun. Namun, jika kau lakukan itu, malam-malammu tak akan pernah damai. Aku akan datang setiap kali senja terjatuh dari langit dan tergantikan pekat.
Tampaknya kamu cocok dengan jubah putihmu. Bagus. Waktu itu. Ya, pada waktu itu, kamu semakin menawan. Tapi jubah itu tidak cocok bagimu untuk bersembunyi karena ukurannya pas di badanmu. Adakah kamu benar-benar cocok? Entahlah.
***
Kini kutuliskan kisah ini dengan tinta air mata. Warnanya hanya dua; satunya berwarna bahagia, satu lagi berwarna sedih. Setiap kali ia menetes ke kanvas hidupku, setiap kali itu pula terbentuk peta kehidupan baru yang harus kulalui. Tapi, tenang saja. Aku tidak akan melukis namamu dengan air mataku. Lagipula untuk apa aku melukis wajah yang dulu pernah menjilati kotoranku. Aku lebih berniat melukis wajah-wajah orang kudus dengan korona putih di atas kepala. Korona itu, aku yakin, tak akan pernah menempel di kepalamu. Isi kepalamu hanya kotoran; bukan korona.
Kudengar kemarin kamu tidak tidur di ranjang sepimu. Kau pulang dini hari tanpa jubah dengan botol kosong di tangan kanan. Di mana jubahmu kini? Sudahkah kau jadikan alas tidur? Lalu di persimpangan Jalan Kembang, kau ditawari mampir oleh penjaja apel dan merayumu mencoba buahnya. Meski kau tak mampir, mengapa kau lewat di sana malam-malam itu?
Tidakkah kamu tahu bahwa di ranjang sepimu telah menanti kutu-kutu busuk yang setiap malam mencumbui kulit-kulitmu? Mereka merindukanmu. Kutu-kutu itulah yang akan menemani sampai tidak seorang pun yang sanggup membangunkanmu lagi. Tapi kau lupa bahwa kutu-kutu itu sengaja dikirimkan Tuhan untuk tetap menjagamu di ranjang sepimu; bukan di ranjang penjaja apel. Dan jubah? Itu dikirimkan Tuhan agar kau tetap hangat di kedinginan malam. Bukan untuk bersembunyi dan menutupi kebusukanmu. Bukan pula untuk alas tidur ketika kau bermain-main dengan bonekamu. Kupikir, kamu akan baik-baik saja. Tapi ternyata itu hanya pikiranku.
Selamat tinggal. Aku harus pergi dari kota ini. Sejak kutahu asinnya air mata karena aku dicampakkan setelah ditiduri, aku ingin pergi mencari tambak air mata yang dibekukan menjadi garam atau mengkristal menjadi permata. Sisa aroma tubuhmu yang melekat di bibirku telah kubasuh dengan pasta kepedihan. Kamu tidak perlu kuatir karena memoriku tercipta untuk cepat melupakan. Namun sisa kenangan yang tak mampu kuhapuskan kini kubawa pergi, termasuk ketika aku tak bisa lagi menyanyikan lagu para gadis.
“Aku menggantung jubahku” begitu katamu ketika bertandang ke gubukku; saat sore hampir tiba. “Lamaran kaulku ditolak oleh pimpinan. Entah mengapa. Bolehkah aku mengulang kisah lama yang dulu belum kelar? Aku masih menyimpan rasa cinta untukmu.”
Dasar lelaki buaya. Ternyata setelah berjubah, meskipun hanya beberapa saat saja, kau tidak berubah. Mungkin itu sebabnya kau dinilai tidak layak mengenakan jubah. Bagaimana rasanya ditendang keluar dari biara? Sakit kan? Rasanya sama seperti kau mencampakkan aku setelah meminum madu yang kusuguhkan.
Kini kau bagaikan setitik embun yang tersesat di musim kemarau. Apalah artinya setetes embun di tengah gurun kehidupanku yang telah lama tandus. Daripada harus meminum setetes kata-kata harapanmu, mungkin lebih baik aku meneguk air mataku sendiri. Namun masihkah aku tahu cara menangis? Bukankah perih yang kau torehkan di hatiku sejak lama telah mengajariku cara membendung air mata? Terima kasih karena pernah membuatku terluka.
Saat kau datang, kupikir itulah hari pertama dan terakhir kita bertemu. Namun alangkah nerakanya dunia ini ketika kulihat kau jajan di Jalan Kembang sepulang dari rumahku petang itu. Kesepian bertahun-tahun di balik jubahmu bagaikan kelaparan sang singa di balik kandang. Seusai lepas, ia menerkam apa saja yang nikmat baginya. Kau tidak ubahnya singa. Aku bersyukur karena kau ditendang keluar dari biara.
Kini aku bersyukur pula karena memiliki laki-laki yang tak pernah mengenakan jubah tapi tahu arti cara mencintai. Dia jauh lebih suci darimu meski tanpa jubah. Aku baru sadar; kenangan kita bukanlah tentang jubah dan cinta. Kisah kita bukanlah tentang pengorbanan cinta demi jubah.
Kenangan kita adalah tentang aku dan singa; tentang nafsu dan birahi. Tidak ada cinta di dalamnya. Sejak dulu harusnya aku tahu, kau tak pernah cocok mengenakan jubah. Kehadiranmu di tengah orang-orang suci itu bagaikan nila di sebelanga susu. Kau mencemari putihnya jubah. Kau telah menaburkan kebencian di hati para peziarah yang mencari Tuhan di balik jubah. Kau juga telah merubuhkan kepercayaan banyak orang pada kaum berjubah. Itu semua ulahmu. Padahal, waktu itu jubah hanyalah topeng yang kaukenakan sementara teman-temanmu benar-benar mengenakannya sebagai pakaian kesucian. Seperti aku yang pernah kau nodai, demikian pun jubah putihmu kau tumpahi warna hitam. Tapi itu jubahmu. Hanya jubahmu. Yang lain tidak. Mereka tetap putih.
Untungnya aku bukanlah orang yang membenci kaum berjubah hanya karena satu kenangan bersamamu; hanya karena seorang singa bersembunyi di dalamnya. Kemarin masih kutemukan beberapa jubah putih di jalan saat aku menimba kekuatan di Gua Sang Ibu. Mereka sangat pas dengan ukuran jubahnya masing-masing dan tersenyum padaku persis seperti senyum Sang Ibu. Wajah mereka bercahaya. Tidak seperti kamu dulu. Aku pun tidak bodoh. Aku tidak akan menyamakan kamu dengan pria berjubah lain yang tersenyum padaku penuh cinta itu, sebab senyum mereka bukanlah senyum nafsu birahi sepertimu.
Kuakhiri kisah ini dalam pertemuan dengan seorang berjubah di kamar pengakuan dosa. Dari balik tirai, wajahnya bercahaya seperti bulan purnama dan tutur katanya elok seperti seorang ayah menyapa anaknya,”Kamu tidak apa-apa, Nak? Kamu baik-baik saja, kan? Jangan takut, Tuhan selalu bersamamu.”
Di sana kuceritakan pada Tuhan siapa aku dan kamu dulu. Di dalam kamar itulah aku dilahirkan kembali seperti inang bayi baru saja dimuntahkan dari rahim gelap. Laksana bayi terisak ketika pertama kali menghirup udara kotor di bumi, demikian pun aku menangis di kamar pengakuan dosa. Berharap sisa-sisa lukaku bersamamu terbasuh oleh asinnya air mata.
Benar. Hatiku lega saat mendengar suara lembut kebapaan, “Atas kuasa Allah yang diberikan kepada Gereja-Nya, aku melepaskan kamu dari dosa-dosamu, dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus”. Amin.
Kusematkan tanda di dahi, dada, dan kedua bahuku sambil memanggil nama Tuhan. Setelah itu, aku menarik daun pintu Gereja dan berjalan ke bangku tua di depan Altar. Di sana aku berlutut beberapa menit sambil menangis lalu tersenyum. Kupandangi salib yang tergantung di sana dan kulihat Sang Anak menatapku penuh kasih. Seolah-olah Dia berkata: “Anakku, pergilah, dosamu sudah diampuni. Jangan berbuat dosa lagi”. Sementara itu, di tangga Gereja telah menunggu seorang laki-laki yang akan menjadi ayah bagi anak-anakku.
Kini yang aku tahu, kamu adalah penikmat apel yang dijajakan di Jalan Kembang kota ini. Hati-hatilah kawan. Andai dulu kamu tidak berjubah, tentu pandangan orang tak seburuk sekarang. Sebenarnya aku sangat menyesal karena membiarkanmu dulu masuk biara. Hanya mengotori saja. Tapi mengapa aku yang menyesal? Harusnya kamu. Kamu, Pedro!!!

Komentar

Postingan Populer