SELIBAT
Dear kamu,
Malam
ini terbuat dari adonan rindu dan sepi. Ada sedikit bumbu asin dari tetes air
mata. Menangis? Jangan mempelototi aku seperti itu. Salahkah Adam menangis?
Malam
ini terbuat dari musik dingin dan gelap. Ada sedikit nyanyian deru kendaraan
yang melaju. Mengenangmu, salahkah Adam mengenang seorang Hawa?
Kamu
adalah cita-cita kedua yang tak pernah bisa kumiliki selagi aku masih
mengenakan jubah. Kini jubahku tak hanya putih, tetapi juga hitam. Panjangnya
tetap sampai di mata kaki. Namun di dalam sakunya masih tertulis namamu,
Thalia.
Kamu
adalah sepercik keindahan yang tercipta di retinaku. Namun hanya kunikmati dari
seberang pulau. Sesekali, aku rindu membelai ijuk halus yang menjulur dari atas
kepalamu; atau melekatkan bibirku pada belahan bibirmu; memelukmu erat dan tak
akan kulepaskan sampai kita menafaskan desahan terakhir tanda kenikmatan telah
terteguk puas.
Malam
ini, di saat hanya ada sepi di sisiku, tanpa secangkir kopi, kurindu kau
datang. Kemarin kudengar tawamu lewat telepon hingga aku merasa hidup menjadi
lebih berwarna. Padahal, kita hanya bercerita tentang kebodohan hidup, tentang
perjuangan, tanpa sepatah katapun menyatakan rasa. Andai sekarang adalah dulu,
maka kulumat bibirmu saat kau inisiatif menempelkannya di bibirku. Aku masih
ingat basahnya lidahmu. Namun saat itu aku tak bergerak sebab kupikir mencium
adalah dosa.
Kini,
ketika dekat sudah aku mengucapkan janji selibat, mengapa aku ingin memelukmu
untuk terakhir kali. Ataukah mungkin kita masih bisa melanjutkan kisah setelah
ciuman. Bolehkah? Oh… tidak. Tidak mungkin. Aku telah terlalu lama hidup
menyendiri tanpa belaian kekasih. Haruskah aku korbankan kesetiaan selama ini
hanya demi meneguk setetes kenikmatan dalam keberduaan denganmu? Sekalipun mungkin
kamu tak akan menuntut bayar dariku, apalah aku yang telah berjanji setia.
Mungkin
bagimu aku Adam yang tak tahu arti mencintai. Aku Adam yang menolak tawaran
apel darimu, Hawa Thalia. Bahkan di saat kau bukakan cawan tepat di mataku, dan
memintaku meminumnya demi nikmat yang memabukkan, aku pun menolak kini, meski
tak ada siapapun yang tahu.
Thalia,
kamu harus tahu, bahwa setelah aku mengucapkan janji, ada malaikat kecil selalu
mengikutiku ke mana pun aku pergi. Ia lebih kecil dari peri yang sebesar kutu.
Namun otaknya jauh lebih cemerlang dariku. Setiap kali aku menyebut namamu, ia
menamparku. Apalagi ketika harus menciummu, mungkin ia akan membunuhku. Ia
bukan manusia, namun punya nama. Kamu tahu namanya? Namanya Selibat.
Komentar
Posting Komentar