Everyone is Number One
Everyone is Number One…
Oleh: Fr. Alfius Tandirassing
Setiap orang unik dan khas. Tidak ada satu orang pun yang sama persis dengan orang yang lain. Bahkan kembar pun memiliki perbedaan. Perbedaan antara seorang dengan seorang lain menandakan bahwa setiap pribadi adalah unik. Berbicara tentang keunikan, setiap orang memiliki keunikan tersendiri yang menandakan jati dirinya.
Everyone is Number One
Dalam sebuah film yang berjudul “Everyone is Number One”, tokoh utama yang diperankan oleh Andy Lau memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Tokoh utama adalah seorang pelari hebat yang selalu juara dalam setiap kali perlombaan. Kebahagiannya bersama istri dan anaknya semakin sempurna dengan berhiaskan piala-piala hasil juaranya. Sepertinya ia tidak lagi mengenal duka.
Namun ternyata keberuntungan tidak selalu berpihak padanya. Ketika ia sedang berjalan kaki, entah pergi atau pulang latihan, tiba-tiba ia tertabrak mobil. Tubuhnya terpelanting ke tanah dan salah satu kakinyapun patah sehingga harus diamputasi. Ia merasa sangat terpuruk seakan hidupnya tidak berharga lagi. Hari-harinya dilewatkan dengan duduk di atas kursi roda, penuh tangisan dan duka lara. Kalau hendak berjalan pun, ia harus memakai tongkat yang tentu saja sangat merepotkan baginya. Ia tidak bisa lagi berlari.
Dalam keterpurukannya itu, ia menonton sebuah film singkat berjudul “You Can” yang menayangkan tentang perlombaan orang cacat. Dalam tayangan itu, ia melihat orang-orang yang hanya memiliki satu kaki tapi ia bisa melompat jauh, orang yang tidak memiliki tangan tapi bisa berlari dengan cepat dan seimbang, bahkan orang yang tidak mempunyai tangan dan kaki pun bisa berenang. Terinspirasi dari tayangan itu, ia berusaha mendapatkan sebuah kaki palsu. Dengan kaki palsunya itu, ia bisa berlatih berlari meskipun harus beberapa kali terjatuh. Rasanya pasti menyakitkan namun dengan tegar ia tetap berlari. Akhirnya dalam perlombaan lari orang-orang cacat, ia meraih juara pertama. Ia sadar bahwa sekalipun ia tidak dapat normal kembali, ia bisa menerima kekurangannya dan menerima diri bahwa ia berbeda dengan orang lain. Ia adalah pribadi unik. Dalam keterbatasannya, ia tetap menjadi The Number One.
I am Number One
Film tersebut memberikan inspirasi kepadaku untuk berefleksi kembali. Aku mulai menelusuri kembali perjalanan hidup dan pengalaman yang terjadi di masa laluku. Aku pun mulai mengerti bahwa aku pun bisa mengucapkan I am Number one.
Mengucapkan kata “I am Number One” dapat diartikan sebagai sebuah kesombongan. Namun ketika diartikan secara positif, ucapan tersebut adalah sebuah pendorong untuk bisa bergerak maju, bentuk penerimaan diri, dan bentuk kepercayaan diri. Dalam tulisan ini, aku hendak mensharingkan sebuah pengalaman berkaitan dengan tema “Everyone is Number One”. Sharing ini disajikan dalam bentuk narasi berjudul “I am Number One” agar dapat dimengerti sebagai sebuah cerita daripada sebuah pengakuan.
Saat itu, panasnya kota Makassar terasa menyengat. Para seminaris Petrus Claver sedang “ambulasi” karena hari itu adalah hari Minggu. Dengan gagah berani seorang seminaris yang menduduki Kelas Persiapan Atas (KPA) menghadap rektor seminari. Ia hendak menanyakan perihal kelanjutannya; apakah ia direkomendasikan untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya atau tidak? Rektor menerima seminaris itu dengan ramah dan penuh kasih, ibarat seorang ayah yang membukakan pintu bagi anaknya. Dalam pertemuan itu, ia mendapatkan jawaban positif.
Maka timbullah keresahan yang selama ini terpendam dalam hati pemuda itu. Dengan jujur ia mengungkapkan isi hatinya bahwa ia berat untuk melangkah. Mengapa? Ia merasa sangat minder dengan seminaris lain yang nantinya akan menjadi teman seangkatannya di Tahun Orientasi Rohani. Ia adalah satu-satunya yang berasal dari pendidikan SMA luar sementara mereka adalah putera-putera terbaik Seminari Petrus Claver. Ia sendiri ragu apakah ia bisa bertahan dalam posisi itu atau tidak? Dalam banyak hal ia memiliki banyak perbedaan, terutama di bidang kerohanian, intelektual, kepribadian, hidup komunitas, dan pastoral. Namun rektor menjawab dengan cukup sederhana namun bijaksana, “Jalanilah dulu”.
Akhirnya masa-masa Tahun Rohani pun dimulai. Pada tiga bulan pertama di Tahun Rohani, pemuda itu terbelenggu dengan stigma diri minder. Dalam permenungannya, ia membuat sebuah puisi yang sangat panjang, berisi tentang isi hatinya. Salah satu kutipan yang sangat menarik dari puisi itu berbunyi, “Aku bagaikan sebutir pasir di tengah mutiara”. Ia merasa diri seperti pasir yang masih membutuhkan waktu bertahun-tahun di dalam kerang mutiara agar nantinya bisa menjadi mutiara. Ia memandang teman-temannya sebagai sebuah mutiara yang telah terbentuk dan pastinya sudah bernilai tinggi. Namun itu semua hanya berlangsung dalam bulan-bulan pertama.
Dalam perjalanan selanjutnya, pemuda itu semakin akrab dengan teman-temannya. Berbagai suka dan duka mewarnai kebersamaan mereka. Gelak tawa dan isak tangis pun telah mereka lalui bersama. Berbagai kritik dan pujian telah terucap satu sama lain. Akhirnya pemuda itu mampu melupakan puisi yang telah tertulis di buku hariannya itu.
Dalam acara correctio fraterna (saling mengoreksi satu sama lain), ia mendapatkan sebuah peneguhan yang terucap dari temannya sendiri. Peneguhan itu berbunyi, “Kau bukanlah pasir di tengah mutiara melainkan sebuah mutiara di antara pasir”. Namun dengan segala kerendahan hati, pemuda itu menjawab, “Kita bukanlah pasir dan bukan pula mutiara. Kita adalah pribadi yang unik dan khas. Dengan keunikan dan kekhasan masing-masing, marilah kita saling melengkapi”.
Waktu pun mengantar mereka untuk melangkah dengan gagah ke depan altar. Waktu itu, 30 Mei 2010, ketika senja hari di tengah bentangan alam Sangalla’, Tana Toraja, mereka berdelapan menerima jubah. Itulah momen paling berkesan yang mereka rasakan. Setelah itu, mereka melangkah ke tanah Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan calon imam di Seminarium Anging Mammiri. Mereka tetap hidup dalam kebersamaan tanpa menanggalkan keunikan masing-masing. Keunikan mereka sangat berbeda satu sama lain. Ada yang memiliki keahlian di bidang musik, berlawak, menulis, ilmu matematika, seni suara, pastoral anak-anak, pastoral kaum muda, dsb. Namun keunikan itu pula yang menjadi penyatu bagi mereka untuk saling melengkapi.
Dari pengalaman pemuda ini, aku ingin mengatakan bahwa ternyata memang setiap orang adalah pribadi yang unik. Seperti dalam film Everyone is Number One, kita diajak untuk menerima diri dengan segala keunikannya sehingga kita bisa menjadi percaya diri, dan mampu bangkit dari keterpurukan untuk melangkah maju. Pemuda itu bukanlah sebuah pasir, pun juga sebuah mutiara melainkan sesuatu yang lain dari pada yang lain, itulah keunikannya. Itulah sebabnya ia berani untuk mengatakan I am Number One.
Kata Kitab Suci…
Dalam I Kor 12: 1-11, rasul Paulus menulis tentang “rupa-rupa karunia tetapi satu Roh.” Setiap orang diberikan karunia yang berbeda dengan orang lain. Santo Paulus berkata, ”Kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama. Kepada yang seorang Roh memberikan karunia untuk berkata-kata dengan hikmat, dan kepada yang lain Roh yang sama memberikan karunia berkata-kata dengan pengetahuan. Kepada yang seorang Roh yang sama memberikan iman, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk menyembuhkan. Kepada yang seorang, Roh memberikan karunia untuk mengadakan mukjizat, dankepada yang lain Ia memberikan karunia untuk bernubuat, dan kepada yang lain lagi Ia memberikan karunia untuk membedakan bermacam-macam roh. Kepada yang seorang Ia memberikan karunia untuk berkata-kata dengan bahasa-roh, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk menafsirkan bahasa-roh itu. Tetapi semua itu dikerjakan oleh Roh yang satu dan sama, yang memberikan karunia kepada tiap-tiap orang secara khusus, seperti yang dikehendakiNya” (I Kor 12:7-11).
Ayat-ayat tersebut sungguh menarik. Apabila direnungkan lebih jauh, kita akan sampai pada keadilan Allah. Betapa adilnya Allah memberikan karunia berbeda kepada tiap orang agar orang-orang saling melengkapi dan mempergunakan karunia itu demi kepentingan bersama. Karunia yang diterima oleh orang lain adalah salah satu keunikan yang dapat direfleksikan bersama. Dikatakan bahwa tiap orang memiliki karunia. Pertanyaannya apakah aku sudah menyadari karunia yang dianugerahkan Tuhan tersebut? Apakah aku sudah menggunakannya demi kepentingan bersama?
Sepenggal sharing ini sekiranya dapat menjadi butir refleksi bersama. Satu hal yang kuyakini bahwa setiap orang memiliki keunikan. Setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan di dalam keunikannya. Nah, keunikan itu menjadikan kita senantiasa bersyukur, “Tuhan, terima kasih atas keunikan yang ada pada diriku. Kini aku tahu bahwa dengan rahmatMu, aku telah menjadi The Number One.”
***
Komentar
Posting Komentar