Aku yang Pernah Hilang
Aku yang pernah hilang…
Sebuah permenungan biblis tentang Perumpamaan Anak yang Hilang
(Lukas 15:11-32)
Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku seorang upahan bapa. (Luk 15:18-19)
Anak yang Hilang
Perumpamaan tentang anak yang hilang adalah salah satu perumpamaan yang terkenal di antara semua perumpamaan yang pernah diajarkan oleh Yesus. Kisah ini dikemas dengan sangat indah dan memberikan permenungan yang mendalam bagi pembaca. Perumpamaan anak yang hilang ini hendak mengungkapkan belas kasih seorang bapa kepada anaknya.
Diceritakan bahwa ada seorang bapa yang mempunyai dua anak laki-laki. Anak bungsu meminta harta milik bapanya dan pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan hartanya dengan hidup berfoya-foya. Setelah hartanya habis, timbullah kelaparan di daerah itu dan ia pun harus menjalani hidup sebagai seorang penjaga babi. Ia ingin memakan ampas makanan babi namun tidak seorang pun yang peduli padanya. Akhirnya ia sadar akan keadaannya. Ia menyesal dan mengambil keputusan untuk berbalik ke rumah bapanya dengan sikap siap menghadapi resiko. Dengan hati yang terbuka dan penuh kasih, bapa menerima kembali si bungsu ke dalam pelukannya.
Penyesalan dan pertobatan si bungsu ditunjukkannya dengan kata-kata kepada bapanya: “Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku seorang upahan bapa” (Luk 15:18-19). Terlepas dari sikap ayah, ternyata kehadiran si bungsu tidak semudah itu diterima oleh si sulung. Hal ini bisa menjadi refleksi betapa jauhnya perbedaan dikap antara ayah dengan si sulung. Bagi si sulung, si bungsu telah terlepas dari ikatan keluarga sehingga ia sama seperti orang lain yang bukan kerabatnya.
Dalam tradisi Yahudi, pembagian warisan umumnya menunggu kematian si ayah dan apabila diambil lebih awal maka akan mendapatkan suatu denda, yakni dianggap tidak memiliki ikatan lagi dengan keluarga. Dalam konteks kisah ini menurut hukum Yahudi, anak sulung mendapatkan warisan ganda sedangkan anak bungsu mendapat sepertiganya. Dengan meminta warisan terlebih dahulu, berarti si bungsu memisahkan diri dari ikatan keluarga tanpa rasa sesal. Keberangkatannya dengan membawa sebagian harta ayahnya juga berarti kehilangan ayah dan saudaranya. Namun di sinilah letak kasih sayang seorang ayah ketika menerima kembali anaknya yang dianggap telah mati.
Membaca perikop tentang anak yang hilang ini membuatku membayangkan peristiwa perjumpaan bapa dengan si bungsu itu. Aku membayangkan bahwa sebelum si bungsu menyelesaikan kalimat itu, bapa telah memeluk si bungsu. Bapa mendekap wajah si bungsu di dadanya agar isak tangis si bungsu tidak terdengar. Bapa merapatkan wajah si bungsu ke pelukannya sebelum kata-katanya selesai terucapkan. Sungguh, ia adalah seorang bapa yang dengan penuh keterbukaan hati menerima anaknya kembali. Karena begitu kasihnya, ia tidak memerlukan kata-kata penyesalan terucap. Kembalinya si bungsu adalah sebuh kebahagiaan yang tiada taranya.
Aku yang Pernah Hilang
Berdasar atas perikop ini, aku ingin membagikan sebuah pengalaman sederhana. Ketika masih kecil, aku mengalami sebuah peristiwa lucu namun cukup berkesan sehingga tidak mudah kulupakan sampai sekarang.
Sebagai anak bungsu, aku termasuk anak yang dimanja oleh orang tua. Kemanjaan ini mengakibatkan kecemburuan dari kakak-kakakku. Pekerjaan yang kulakukan hanyalah mengurusi tiga ekor kambing sedangkan kakak-kakakku harus bekerja di rumah, di kebun, di sawah, dsb. Rupanya diam-diam salah seorang kakakku senantiasa mencari-cari kesalahanku agar aku bisa dimarahi oleh ayah.
Suatu sore aku lalai menggembalakan kambing. Kambing-kambing itu tidak dipasangi tali. Ketika aku sibuk bermain dengan teman-teman sepermainanku, ternyata ketiga ekor kambing tersebut masuk ke kebun selada. Aku tidak menyadarinya. Lama setelah itu, aku baru menyadari bahwa kambing yang kugembalakan telah masuk ke kebun dan memakan rerumputan di dalam kebun, termasuk dedaunan ubi jalar. Tidak tanggung-tanggung ternyata kambing-kambing itu telah merusak pohon selada yang sedang berbuah. Mereka menguliti pohon kecil yang digunakan sebagai tiang penyangga selada itu. Akibatnya, selada-selada tersebut juga rusak dan buahnya berguguran. Saat itu, hari mulai senja dan aku pun takut untuk kembali ke rumah. Aku sadar bahwa ayah akan sangat marah karena selada-selada yang dirawatnya tiap hari itu telah rusak.
Karena lambat pulang ke rumah, kakak saya datang menjemput dan ketika melihat bahwa kebun selada telah rusak diobrak-abrik kambing, ia berlari pulang ke rumah untuk melaporkannya kepada ayah. Aku menjadi sangat takut. Dengan segera, kambing-kambing itu kugiring kembali ke kandang yang letaknya agak jauh dari rumah. Sesudah itu, aku tidak pulang ke rumah tetapi malah pergi ke rumah teman sepermainanku. Dengan diliputi ketakutan, aku memutuskan untuk menginap di rumah temanku itu.
Ketika hari sudah mulai gelap, aku dan temanku sudah duduk-duduk di dalam rumah. Tiba-tiba pintu digedor-gedor dan jantungku seakan hendak copot. Ternyata yang datang adalah ayahku. Aku tidak bisa lagi berlari atau bersembunyi. Lalu aku mulai menangis karena takut. Namun apa yang dilakukan ayah terhadapku? Ayah malah memeluk aku dan mengucapkan, “Sudah, sudah! Jangan menangis. Ayah tidak akan memarahi kamu. Ayo kita pulang ke rumah”. Dalam pelukan ayah aku merasa sangat damai. Rasa takut yang semula memenuhi seluruh tubuhku kini berubah menjadi rasa damai. Aku merasa benar-benar dicintai saat itu. Bahkan ayah menggendongku saat pulang ke rumah. Ayah hanya menitipkan pesan agar aku tidak lalai lagi dalam menggembalakan kambing. Aku merasa bangga memiliki ayah seperti itu. Terlebih aku bersyukur karena Tuhanlah yang memberiku ayah seperti itu.
Ayah yang Hilang
Pengalamanku tersebut membawaku pada permenungan bahwa ada orang yang tidak seberuntung aku. Aku yang dulu pernah “hilang” akhirnya menyadari bahwa ternyata bukan hanya anak yang bisa hilang melainkan juga ayah. Kisah anak yang hilang tentu saja sudah lazim didengar. Pernahkah kita mendengar kisah tentang Ayah yang Hilang?
Banyak peristiwa hidup yang menggambarkan tentang ayah yang hilang. Secara sederhana dapat dimengerti bahwa ayah yang hilang merupakan pengalaman di mana kehadiran sosok seorang ayah tidak dirasakan. Hal ini dialami oleh anak-anak yang entah karena ayahnya meninggal ketika ia berumur masih kecil, perceraian, atau disebabkan karena kekerasan seorang ayah.
Kisah yang menonjolkan kasih seorang ayah dalam perumpamaan ini tentu tidak relevan dengan keadaan anak yang tidak merasakan kasih sayang seorang ayah. Seorang anak yang mengetahui bahwa ayahnya pergi meninggalkan keluarganya, tentu saja tidak akan mempunyai konsep yang baik tentang ayah. Begitu pun juga dengan anak yang mengalami kekerasan yang disebabkan oleh ayah dalam keluarga.
Anak-anak yang tidak mengalami kasih seorang ayah akan menanamkan konsep dalam dirinya bahwa sosok ayah adalah orang yang tidak bertanggung jawab, atau orang yang kasar, atau orang yang tidak bisa membagikan kasih sayang kepada anaknya. Anak akan lebih cenderung mengunggulkan sosok ibu dalam hidupnya. Hal ini akan berpengaruh dalam pola pikir seorang anak, khususnya menyangkut katekese mengenai Allah sebagai Bapa yang Baik. Satu satu solusi adalah dengan menjelaskan bahwa ayah dalam hidup harian kita adalah ayah yang hadir dengan segala keduniawiannya sedangkan Allah yang menjadi Bapa kita melampaui segala keduniawian sehingga kita menyebutnya Mahabaik atau Sumber Kebaikan.
Allah Bapa yang Baik
Makna yang ingin disampaikan dari perumpamaan tentang anak yang hilang adalah kasih sayang seorang ayah, yakni Allah Bapa. Sosok anak menggambarkan manusia dengan berbagai karakter dan problematika kehidupannya. Sosok ayah menggambarkan Allah yang berbelas kasih dengan mengampuni setiap orang yang bertobat dan kembali kepadaNya.
Secara garis besar, ada tiga tokoh yang ditampilkan dalam perumpamaan ini, yakni sosok ayah, si bungsu, dan si sulung. Tokoh-tokoh tersebut adalah representasi dari sikap hidup harian kita. Setiap tokoh memiliki karakter yang berbeda-beda. Nah dari ketiga tokoh ini, dapat diambil beberapa pertanyaan permenungan yang bisa membantu kita dalam menjalani hidup yang lebih baik. Apakah aku seperti si bungsu? Apakah aku seperti si sulung? Ataukah aku seperti si bapa?
Komentar
Posting Komentar