Memikul Salib sebagai Pengikut Kristus


SIARAN PETRA FM
 JUMAT, 5 AGUSTUS 2011
Oleh: Fr. Alfius Tandirassing
Tema: Memikul salib sebagai pengikut Kristus.

1. Doa Pembuka…
Bapa, di pagi yang indah ini, kami menghadap Dikau dengan membawa rasa syukur kami atas hari baru yang telah Kauanugerahkan bagi kami. Kami bersyukur atas penyertaanMu semalam telah berlalu. Kini kami ingin memulai hari baru dengan merenungkan sabdaMu. Bersabdalah ya, Tuhan, hambaMu mendengarkan. Bukalah hati kami untuk mampu merasakan kekuatan sabdaMu. Anugerahkanlah kami rahmat pengertian agar kami dapat mengerti kehendakMu. Berilah kami hati yang terbuka dengan berhiaskan buah-buah Roh Kudus. Ajarilah kami untuk selalu rendah hati mengakui segala kelemahan kami sebagai manusia dan tetap menaruh harapan kami kepadaMu. Semoga dengan sabdaMu, iman kami akan Dikau semakin mendalam, sehingga kami bisa menjadi saksi kehadiranMu bagi sesama kami. Ketuklah hati orang-orang yang masih tertutup akan kebenaran sabdaMu. Semoga namaMu semakin dikenal di bumi agar terciptalah KerajaanMu. Ya bunda Maria, jadilah pendoa bagi kami anak-anakmu. Semoga karena doamu, kami semakin dekat dengan Bapa. Ya, Roh Kudus, ciptakanlah kami kembali. Berilah kami hati yang baru dan hiasilah hidup kami dengan buah-buah kehadiranMu kini dan sepanjang masa. Amin.

2. Bacaan Mat 16:24-28 (Hal mengikut Yesus)
3. Renungan
Sahabat Petra yang dikasihi Tuhan…
Hari ini Tuhan Yesus mengingatkan para rasulnya dan juga kita semua. Dalam bacaan hari ini, Yesus dengan tegas mengajarkan tentang syarat-syarat mengikuti Dia. Nah menjadi pertanyaan bagi kita, mengapa harus ada syarat untuk mengikuti Yesus?
Memberikan diri dibaptis adalah tanda bahwa kita mau menjadi pengikut Yesus. Dalam mengikuti Yesus, ada hal-hal atau syarat-syarat yang harus dipenuhi. Hal itu sangat wajar dan manusiawi. Tujuannya tentu saja demi kebaikan pengikut Yesus itu sendiri dalam mengikuti Yesus secara total dan sungguh-sungguh.
Dalam ayat ke-24 dikatakan, “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikuti Aku.” Menyangkal diri berarti mau lepas dari keinginan sendiri atau ego dalam diri untuk mengikuti kemauan Tuhan. Setiap orang mempunyai rasa ego. Ada yang egonya terlalu tinggi dan ada yang rendah. Orang-orang yang mempunyai rasa ego tinggi cenderung mementingkan diri sendiri dan mau menang sendiri. Mereka ini tidak peduli dengan orang lain. Mereka hanya mementingkan keinginan mereka sendiri tanpa melihat kepentingan orang lain, apalagi mau mengikuti kehendak Tuhan.
Berbeda dengan itu, orang-orang yang memiliki rasa ego rendah lebih mementingkan kepentingan orang lain atau kepentingan bersama. Mereka ini cenderung meredam keinginannya sendiri. Dengan rendah hati mereka mengakui bahwa masih ada orang lain yang lebih membutuhkan daripada mereka. Biasanya juga, orang-orang seperti inilah yang bahagia karena merasa diri cukup dengan apa yang mereka miliki. Mereka bahagia dengan apa yang ada pada diri mereka. Menyangkal diri bagi mereka berarti mampu meredam kepentingan diri sendiri demi orang lain. Apabila sudah mampu mengutamakan orang lain, mereka pun akan mampu membaktikan diri menjadi pengikut Yesus.
Kita dapat melihat seorang tokoh yang cukup terkenal, yakni Ibu Teresa dari Calcutta, India. Ibu Teresa adalah seorang biarawati. Ia mendapatkan banyak bantuan dari banyak orang untuk menghidupi biaranya. Namun apa yang dilakukan? Ibu Teresa menerima semua bantuan-bantuan itu tetapi tidak dipergunakan untuk membangun biara. Ibu Teresa malah mengalihkan semua bantuan itu kepada orang-orang sakit, miskin, menderita, dan tersingkir. Mengapa? Bagi Ibu Teresa, orang-orang miskin lebih membutuhkan daripada biara. Para biarawati masih dapat bertahan dengan apa yang mereka miliki. Di sinilah letak kesalehan Ibu Teresa ketika ia mampu mengutamakan kepentingan orang-orang sakit dan miskin daripada kepentingan biaranya sendiri. Lalu menjadi butir refleksi bagi kita, apakah kita mampu menyangkal diri dengan meredam rasa ego dalam diri kita masing-masing dan mengutamakan kepentingan orang lain, terutama untuk lebih mengutamakan kehendak Tuhan?

Sahabat Petra,
Selanjutnya, kita mendengar kata-kata Yesus, bahwa barang siapa yang mau mengikuti Dia, ia harus memanggul salibnya sendiri. Dalam suratnya yang pertama kepada Jemaat di Korintus, Santo Paulus mengatakan,” Salib bagi orang-orang yang akan binasa merupakan kebodohan tetapi bagi kita yang diselamatkan, salib adalah kekuatan Allah.” Salib adalah beban yang harus kita pikul karena salib adalah ukuran kelayakan pengikut Yesus. Apabila kita mampu memanggul salib kita sendiri maka kita pun mengikut Yesus yang dulu memanggul salib. Santo Paulus juga megatakan, “Kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus telah dibaptis dalam kematiannya. Oleh pembaptisan kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia, supaya sama seperti Kristus dibangkitkan dari antara orang mati demi kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup secara baru.” Nah dengan demikian, kita dibaptis sama seperti Kristus berarti kita dinyatakan sebagai anak-anak Allah. Seperti Kristus juga, kita akan menghadapi salib-salib kehidupan.
Pertanyaannya, manakah salib-salib kehidupan itu? Salib bukan hanya sekedar kayu palang melainkan sebuah arti khiasan dari penderitaan, beban, tanggung jawab, tugas, perutusan, kesaksian, dsb. Semua manusia pasti merasakan penderitaan, apapun bentuknya. Kita juga pasti mempunyai beban, bagaimanapun beratnya. Namun di samping itu, kita semua mempunyai tugas, tanggung jawab, perutusan dan kesaksian yang harus kita laksanakan. Itulah salib-salib yang harus kita pikul.
Lalu kita kembali kepada tokoh Ibu Teresa. Manakah salib-salib yang dipikulnya? Ibu Teresa memanggul salib-salib penderitaan dan beban. Ia dikecam oleh orang-orang di sekitar tempat tinggalnya. Pelayanannya kepada orang-orang miskin dianggap sebagai Kristenisasi, yakni usaha untuk menyebarluaskan agama Kristen. Ia juga terpukul karena tidak semua anggota biaranya setuju dengan tindakannya mengalihkan sumbangan kepada orang-orang miskin. Selain itu, tidak tertutup kemungkinan bahwa ia akan tertular oleh penyakit yang diderita oleh orang-orang yang ditolongnya. Namun ternyata salib-salib itu tidaklah menyurutkan niat Ibu Teresa untuk berbuat baik. Ia menyadari bahwa salib-salib itu adalah perutusan, tugas, tanggung jawab, dan kesaksian telah diperuntukkan baginya.
Nah bagi kita semua. Kita sudah memiliki tugas, tanggung jawab, dan perutusan masing-masing. Menjadi pertanyaan bagi kita, sejauh mana kita kuat dalam menjalani semua itu? Sejauh mana kita setia dalam tugas-tugas itu? Terlebih penting lagi, sejauh mana kita berhaarap pada  Tuhan dalam setiap salib-salib kehidupan yang kita hadapi?
Kita telah diberi peran masing-masing. Ada peran di dalam keluarga sebagai ayah, ibu, kakak, atau adik. Lalu di luar itu, ada peran sebagai guru, pelajar, pedagang, pegawai, pengusaha, dsb. Apakah kita setia menjalani semua itu dengan tetap berharap pada penyelenggaraan Tuhan?
Lalu dalam setiap peran itu, kita pasti pernah menghadapi tantangan, kesulitan, dan bahkan keputusasaan. Bagaimana kita menyikapinya?

Sahabat Petra yang dikasihi Tuhan,
Saya ingin membagikan sebuah cerita yang menarik untuk direnungkan. Cerita ini saya sarikan dari sebuah film animasi. Ceritanya demikian…
Seorang pemuda diberikan salib untuk dipikulnya. Salib ini terbuat dari kayu yang panjang dan cukup berat. Awalnya, ia membawa salib itu dengan penuh semangat. Ketika orang-orang di sekitarnya membawa salibnya dengan perlahan dan tenang, pemuda ini malah membawa salib itu dengan cepat dan semangat. Ia pun mendahului orang-orang di sekitarnya. Namun pada pendakian yang pertama, pemuda ini sudah mulai merasa lelah. Karena merasa bahwa salibnya berat dan panjang, ia mengeluh kepada Tuhan. Katanya, “Tuhan, salib ini terlalu panjang dan berat. Aku akan memotongnya sedikit.” Akhirnya ia langsung mengambil gergaji dan memotongnya.
Setelah itu, ia melihat bahwa orang-orang yang tadi didahuluinya kini sudah berada di belakangnya. Lalu dia segera berangkat jauh di depan orang-orang itu. Ia sudah mulai merasa lega karena salibnya sudah agak ringan dibandingkan dengan sebelumnya. Namun apa yang terjadi pada pendakian yang kedua? Pemuda ini merasa masih kelelahan dan mengeluh lagi. Katanya, “Tuhan, salib yang kau berikan ini telah kupotong. Tetapi ternyata masih berat dan panjang untukku. Aku akan memotongnya sedikit lagi supaya lebih ringan.” Segera ia mengambil gergaji kembali dan memotongnya menjadi lebih pendek.
Sesudah memotongnya, ia beristirahat sejenak. Dalam hati ia berkata, ”Aku akan menunggu orang-orang itu supaya mereka melihat bahwa sekarang salibku sudah lebih ringan. Mereka pasti akan iri terhadapku” , katanya dengan lagak sombong. Setelah orang-orang itu sampai kepadanya, ia mulai mengangkat salibnya yang sudah pendek itu. Dalam perjalanan bersama, pemuda ini bernyanyi-nyanyi sepanjang jalan. Dengan congkak ia berjalan seakan hendak mengejek orang-orang yang berjalan bersamanya. Wajahnya begitu riang dan jalannya agak cara berjalannya seperti orang yang melompat-lompat. Rupanya ia begitu bahagia. Namun ternyata kebahagiaan itu hanya sementara.
Mereka sampai pada sebuah jurang yang tidak memiliki jembatan untuk diseberangi. Sesaat mereka sempat kebingungan. Ada apa ini? Di saat salib terasa semakin berat, kita malah dihadapkan pada jurang menganga di depan kita seakan hendak menerkam kita? Tetapi beberapa dari orang-orang itu menemukan cara untuk menyeberangi jurang itu. Mereka menurunkan salib dari pundak mereka dan memasangnya di atas jurang itu. Mereka berkata, ”Rupanya Tuhan tidak meninggalkan kita. Ia memberikan salib sepanjang ini supaya bisa dijadikan titian.” Mereka memasang salib itu sebagai titian dan menyeberangi jurang itu.
Namun apa yang terjadi dengan si pemuda? Ia juga ikut menurunkan salib dari pundaknya dan memasangnya di atas jurang itu. Namun ternyata salib itu tidak sampai lagi ke seberang karena salib itu sudah terpotong. Hanya sesal yang tertinggal dalam hatinya. Ia tersungkur di depan jurang sementara orang-orang sudah berjalan di seberang. Dengan sisa tenaganya, ia berjalan pulang dan menemui Tuhan. Ia mengeluh katanya, “Tuhan, mengapa kau pilihkan aku salib yang berat? Di tentah perjalanan perjalanan aku memotongnya karena aku tak sanggup memikulnya.” Lalu Tuhan tersenyum dan berkata, “Mari dan lihatlah”. Ia masuk ke tempat salib-salib itu dipajang. Dan ternyata, salib yang dipilihkan Tuhan baginya adalah salib yang paling ringan dari antara semua salib yang ada di sana.

Sahabat Petra yang dikasihi Tuhan…
Dari permenungan ini, saya mengajak sahabat Petra sekalian untuk merenungkan bagaimana kita memikul salib-salib kita? Apakah kita mengeluh? Apakah kita memotong salib-salib kita? Apakah kita merasa bahwa salib kita adalah salib yang paling berat? Nah marilah saudara-saudariku sekalian, kita memikul salib kita setiap hari, berani menyangkal diri kita dan menjadi pengikut Kristus yang setia. Namun satu hal yang harus kita ingat ialah Kristus telah memikul salibNya dengan setia maka hendaklah kita juga demikian. Semoga demikian… Amin
4. Dialog Interaktif...
5. Doa Umat...
6. Doa Penutup...
            Tuhan Yesus Kristus, terima kasih karena melalui sabdaMu, kami semakin dikuatkan untuk mengikuti Engkau lebih setia dengan menyangkal diri kami, memikul salib kami setiap hari. Sertailah kami dengan daya Roh Kudus agarsabdaMu senantiasa menggema dalam batin kami kini dan selama-lamanya. Amin
***

Komentar

Postingan Populer