ROSARIO MAWAR MERAH

Matahari hampir terbenam. Aku terduduk lesu. Suara adzan dari mesjid di belakang seminari ini malah menerbangkan pikiranku. Para frater lainnya pasti sedang belajar. Sepi rasanya. Angin hanya bertiup sepoi-sepoi. Remang-remang perlahan menerkam bumi.
            Senja ini mengingatkanku pada sebuah peristiwa. Saat itu, ketika aku sudah duduk di bangku kelas tiga SMA, ibu jatuh sakit. Aku tak tahan melihat tubuh renta itu terbaring lemah tak berdaya. Keriput mukanya melukiskan perjuangan hidup yang berat, kini berada di ujung hari. Air mata tak kuasa kubendung meski aku lelaki tegar dan tabah.
            Titik-titik kristal bening yang membentuk pelangi di mata adikku yang baru kelas IV SD saat itu membuatku ingin merintih. Dia gadis kecil mungil yang seharusnya memiliki masa kecil yang bahagia. Tetapi, justru harus kehilangan bapak saat usia belum mencapai delapan tahun. Kini sang bunda, satu-satunya orangtua yang tertinggal juga harus terbaring lemah.
            Tangannya menggenggam erat tangan ibu. Sayup-sayup kudengar suara kecil lirih dari bibir manisnya, ”Bu…jangan tinggalkan Agnes dan Kak Arco, Bu…!” Kasihan adikku. Rintihan pilunya membuatku terpaku. Kupeluk dia dengan air mata berlinang. Kulihat kristal-kristal bening yang sejak tadi dipaksakan untuk dibendungnya, kini tertetes di pundakku. Hati siapa yang tidak pilu melihat pemandangan seperti itu. Dalam kepiluan, masih kusempatkan menghibur adikku,” Sudahlah Agnes, jangan menangis lagi. Ibu pasti akan sembuh kok. Agnes yang sabar, ya?” hiburku tanpa melihat diriku sendiri bahwa aku pun tak kuasa menahan tangis. Meski demikian, kucoba untuk terlihat kuat di depan adikku dan ia pun memaksakan diri terlihat kuat di hadapanku. Aku mencoba tegar meskipun dada ini terasa sesak dan ingin berteriak sekeras-kerasnya untuk melepas beban yang terasa kian berat.
            Dalam pelukanku, tiba-tiba Agnes berteriak dan menangis sejadi-jadinya, ”Ibuuuuuuuuu…!” Aku tersadar. Ibu mengalami masa kritis. Dengan sisa kesadaranku, aku memanggil dokter. Dunia terasa bergemuruh. Jantungku semakin cepat berdetak. Langit terasa runtuh. Dalam keadaan seperti itu, kupeluk erat adikku sambil menungu dokter yang berusaha sekuat tenaga menyelamatkan ibu. Sementara itu, adikku tak bisa lagi menahan isak tangisnya. Bahkan, tangis yang harusnya meledak kini tinggal menjadi isakan tak menentu dengan nafas yang tak teratur. Dalam pelukku, aku sangat merasakan beban adikku yang kini tak mampu lagi terlampiaskan dengan tangis dan isakan. Semua terasa tertahan di dada. Sesak. Aku hanya bisa terdiam dalam kegalauan sambil berdoa dalam hati. Sekali lagi, kusempatkan menghibur adikku meski aku tahu, itu tidak cukup berarti lagi. Aku hanya ingin adikku tidak mengalami tekanan yang begitu berat. Kehadiranku mungkin bisa mengurangi sesak yang dirasakannya.
            Hanya berselang beberapa menit, dokter mengelengkan kepalanya sambil menatap wajah ibu dengan seberkas keputusasaan.
            “Ibuuuuuuuuuu…!”, teriakku hampir bersamaan dengan teriak adikku. Kudekap tubuh ibu yang kini terbaring tak berdaya. Dadaku terasa sesak. Sekelilingku berputar, perlahan-lahan menjadi gelap. Aku merasakan bumi tempatku berpijak terbuka lebar dan menelanku. Sayup-sayup masih terdengar rintihan pilu adikku memanggil-manggil nama ibu. Akhirnya, aku terjatuh dalam kegelapan yang terdalam. Tak ada sekerlip cahaya. Tak ada suara. Sepi. Aku tak merasakan apa-apa lagi.
            “Kak… Kak Arco…! Bangun, Kak…!” Perlahan-lahan kudengar Agnes memanggil-manggil namaku dengan suara parau.
            “Agnes…?”, akhirnya aku tersadar. “Ibu…?”, sahutku ketika ingatanku tertuju pada ibu. Aku melihat suasana di sekitarku sudah mulai ramai. Tapi, rasanya kakiku tak kuat untuk berdiri. Kupeluk erat adikku dan berharap tak ada lagi yang memisahkan aku dengan dia, satu-satunya harta tak ternilai yang kumiliki sekarang. Dunia begitu kejam. Rasanya, harapanku kini hanya pada adikku seorang.
            Begitulah, aku dan adikku harus kehilangan sosok ibu di saat kami masih sangat membutuhkannya. Syukurlah, sekelompok umat, mudika dan sekami serta romo menanggung semua urusan perawatan dan pemakaman. Kini, tinggal aku dan adikku yang hidup di gubuk reot itu. Untung saja, upah kerja di toko yang kugeluti sepeninggal bapak, mampu membiayai hidup kami berdua. Biaya sekolah kami berdua pun masih mendapat uluran kasih dari umat dan beasiswa bagi yang kurang mampu.
            Ternyata benar, hidup mengalir bagaikan sungai dan tak tahu sampai kemana. Berjuang menerjang bebatuan, menyusuri tepian, dan mengikuti lekuk-lekuk kehidupan. Matahari begitu panas. Malam begitu dingin. Air begitu tawar dan udara begitu hampa. Kujalani hidup seiring detik jarum jam. Mencoba menerima semua kenyataan pahit meski terasa berat. Hidup ini silih berganti. Ada siang ada malam. Ada panas ada dingin. Ada suka ada duka. Ada pertemuan dan ada perpisahan. Terkadang, kita sulit menerima.
            Waktu berlalu. Aku menyelesaikan sekolahku. Syukurlah. Dengan demikian, aku bisa menyekolahkan adikku, satu-satunya harapanku yang masih tertinggal.
Tapi, rupanya Tuhan berkata lain. Aku merasa dunia tidak mengenal iba. Suatu hari sepulang sekolah, adikku kecelakaan saat menyeberang jalan. Nyawanya tak sempat tertolong. Ini salahku. Aku tidak menjemputnya karena aku meminta kerja lembur. Akh… mengapa semua ini harus terjadi? Aku tak tahu harus menyalahkan siapa. Kalau ingin menyalahkan Tuhan, itu dosa. Lalu siapa yang harus kusalahkan? Satu-satunya orang yang tinggal adalah aku. Jadi, akulah yang bersalah. Pupus sudah harapanku. Apa gunanya aku hidup lagi? Membanting tulang mencari nafkah sementara aku tak punya siapa-siapa lagi? Bekerja untuk diri sendiri? Terlalu egois. Tuhan… mengapa Engkau menghukum aku seberat ini? Begitulah aku bergulat dengan batinku sendiri.
            Akhirnya, aku hidup sendiri. Dalam kesendirian, aku ingin memilih untuk mati saja. Tapi, niatku kuurungkan ketika mengingat kembali wajah ibu yang sarat perjuangan hidup sampai Tuhan sendiri yang menyudahinya. Dalam kesendirian itu juga, Tuhan mengutus hambaNya, Romo Paul. Ia mengajakku tinggal di pastoran. Tanpa pertimbangan, aku menyetujuinya dengan harapan bisa menemukan titik balik duniaku.
            Setahun, aku bekerja membantu pekerjaan Romo di pastoran. Kepercayaannya membuatku bekerja tanpa beban. Aku mulai menemukan kembali semangat hidupku yang dulu hilang. Aku mulai menerima kenyataan dan menyadari kelemahan manusia. Melihat semua itu, suatu hari Romo memanggilku ke kamarnya.
            “Arco, Romo lihat kamu sepertinya cocok masuk seminari. Bagaimana kalau Arco masuk seminari saja?”, begitulah pertanyaan Romo padaku saat itu.
            “Terima kasih, Romo atas sarannya. Tapi, saya belum bisa menjawab sekarang. Nanti saya pikirkan kembali”, jawabku tanpa mengurangi rasa hormat pada Romo.
            Akhirnya, kuputuskan untuk masuk seminari. Romo sangat senang mendengar keputusanku. Lalu, aku diutus ke seminari Tahun Orientasi Rohani (TOR) dengan berbekalkan “Rosario Mawar Merah” pemberian Romo. Romo-lah yang menanggung kebutuhanku. Di sana, berbagai pembinaan kugeluti termasuk pembinaan rohani, kepribadian, dll. Di sana jugalah Rosario Mawar Merah itu teruntai tiap harinya. Aku pun semakin kuat. Setahun setelah itu, aku dianggap layak meneruskan pendidikan ke seminari tinggi.
            Hingga saat ini, aku sudah berada di tingkat akhir. Sebentar lagi, aku menerima tahbisan imamat. Sepanjang jalan yang telah kulalui telah berhias ribuan mawar merah yang tertabur dari untaian doa-doaku di depan arca Bunda Maria.
***
            “Arco… jangan mengkhayal terus. Ntar pikiranmu dibawa lari tikus tuh…!” tiba-tiba aku tersadar oleh ledekan sahabatku, Tian.
“Gak dengar bel, apa?”,tanyanya sambil menepuk pundakku. “Saatnya doa rosario nih. Lupa ya?”,tuturnya,
“Akh… nggak kok, Tian”, jawabku sambil tersenyum ke arahnya. Aku bangkit dari tempat dudukku dan bergegas. Rosario Mawar Merah sejak tadi tergenggam di tanganku. Kurangkul pundak sahabatku itu dan melangkah pasti menuju kapel. Di sana teruntai kata-kata indah dari hatiku,”Salam Maria, penuh rahmat Tuhan sertamu Amin”.




DATA PENULIS:
Nama :
Alfius Tandirassing
Tempat/Tanggal Lahir:
Pangrorean, 26 Juni 1990
Jenis Kelamin  :
Laki-laki
Alamat            :
Seminarium Anging Mammiri,
Jl. Kaliurang Km. 7,4 Yogyakarta
Agama :
Katolik
Pekerjaan :
            Mahasiswa
Kampus :
Fakultas Teologi Wedabhakti Universitas Sanatha Dharma Yogyakarta
No Rek:
            003512334784
            Bank Danamon

Komentar

Postingan Populer