Kamu adalah Sahabatku


Kamu adalah sahabatku
Sahabat Kita 
Hari sedang hujan ketika kami tiba di gerbang Pusat Rehabilitasi Penderita Sakit Jiwa Kronis PANTI SAHABAT KITA Purworejo, Jawa Tengah, pada 25 Desember 2011 yang lalu. Sesaat aku berdiri menatap bangunan panti itu. Tiba-tiba terbersit sebuah pertanyaan dalam pikiran saya, “Mampukah saya hidup bersama dengan orang-orang sakit jiwa di panti ini selama tiga minggu?” Pertanyaan ini adalah cerminan dari ketakutan yang ada dalam diri saya karena saya akan berhadapan dengan orang sakit jiwa.
            Sesaat kemudian seorang ibu separuh baya membukakan kami pintu, menyalami dengan ramah, dan mempersilahkan kami masuk. Di dalam ruang tamu, ternyata bruder pemimpin panti sudah menunggu kedatangan kami. Kami diterima dengan sangat baik. Kami diberi arahan dan bersama-sama menyusun program kerja yang akan dilakukan selama Live In. Kini saya mulai menyadari bahwa akhir tahun sekaligus tahun baru kali ini akan saya lewatkan bersama dengan orang sakit jiwa.
            Hidup bersama dengan orang sakit jiwa pastinya sangat menegangkan. Setiap saat kita harus was-was karena takut ada yang mengamuk. Dalam benak saya, orang sakit jiwa adalah orang yang tidak dapat mengendalikan diri dan tidak bisa membedakan mana yang baik dan benar, mana kawan dan lawan, mana yang bisa dilakukan dan tidak, dsb. Oleh karena itu saya takut kalau tiba-tiba mereka memukul saya tanpa sebab, mereka mengamuk dan saya tidak bisa dikendalikan, atau mereka tersinggung oleh perkataan saya, dsb. Ada begitu banyak ketakutan dalam diri saya ketika menghadapi orang sakit jiwa.
             Tiga hari pertama saya lalui dengan penuh ketegangan. Saya enggan untuk menyapa para pasien, entah ketika berpapasan atau bahkan ketika duduk bersama di meja makan. Apalagi pada malam hari, mereka terkadang susah tidur sehingga ada rasa was-was dalam diri, “Bagaimana kalau mereka mengamuk sementara pada pendamping panti ketiduran?” Tapi untunglah semua ketakutan dan ketegangan saya tidak pernah terwujud. Malah saya bisa menjalani hidup dengan mereka seperti orang normal pada umumnya.
            Hari-hari selanjutnya saya lalui dalam kebersamaan yang tak pernah kubayangkan selama ini. Kami bercanda ketika makan atau berpapasan. Kami bercerita sambil menonton televisi. Mereka bersharing tentang keadaan keluarga, riwayat pendidikan, pekerjaan, halusinasi, bahkan mereka mensharingkan tentang penyakit mereka sendiri. Masih teringat percakapan saya bersama salah seorang pasien yang berkata bahwa ia sakit jiwa dan akan segera pulih dalam waktu dekat. Ia menyadari diri sebagai orang yang sakit jiwa. Maka ia berusaha untuk sembuh dengan mengikuti setiap kegiatan proses rehabilitasi dan meminum obat secara teratur.
            Kami menjalani kegiatan harian secara bersama-sama mulai dari pagi sampai malam. Kami makan bersama-sama, berolahraga bersama, belajar bersama, menyanyi bersama, dan berdoa bersama. Bahkan dalam kesempatan ini, pihak panti mempercayakan pendampingan kepada saya dan ketiga rekan frater. Kami pun mengadakan rekoleksi bersama.
            Rekoleksi bagi orang normal itu sudah lumrah. Namun rekoleksi bagi penderita sakit jiwa itu luar biasa. Menurut para pendamping panti, rekoleksi tersebut adalah rekoleksi yang pertama di Panti Sahabat Kita. Kami bersama-sama mendalami iman, harapan, dan kasih. Dari mereka saya belajar untuk menjadi orang yang memperdalam iman, meneguhkan harapan, dan mengamalkan kasih, sekalipun saya berada dalam keterbatasan.
            Dalam mengikuti rekoleksi bersama, salah seorang pasien menceritakan rencana-rencana yang akan dikerjakannya setelah menjalani proses rehabilitasi di panti. Ia ingin mengembangkan sebuah perusahaan sendiri bersama dengan para karyawannya. Ternyata perusahaan yang dia maksud bukanlah perusahaan besar seperti dalam benak saya melainkan usaha penggilingan padi. Ya, hal ini terkesan lucu bagi saya namun itulah kenyataanya. Pemikirannya sederhana namun perlu dihargai sebagai sebuah rencana masa depan dan usaha untuk membangun hidup yang lebih baik. Dengan demikian mereka bukanlah orang yang hanya hidup dalam dunia sendiri melainkan juga mempunyai harapan dalam membangun hidup bersama.
            Sungguh kehadiran para pasien sakit jiwa dalam hidup saya mengantar saya pada permenungan bahwa “Mereka adalah sahabat saya”. Hal penting bagi saya bukanlah kehadiran saya sebagai seorang pendamping melainkan kehadiran saya sebagai seorang sahabat. Saya hadir sebagai seorang sahabat yang mendengarkan keluh kesah mereka dan menjadi teman yang membangunkan mereka dari halusinasi yang kerap kali menghantui. Memang benar bahwa mereka memerlukan kehadiran seorang sahabat. Mungkin karena itulah panti ini disebut Panti Sahabat Kita.
Kamu adalah sahabatku
Pengalaman yang mengantar saya pada permenungan tentang “sahabat” mengingatkan saya pada kata-kata Yesus, “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku” (Yoh 15:15). Hal ini menyadarkan saya bahwa Yesus saja menyebut saya sebagai sahabat maka sudah semestinya saya juga menganggap para pasien itu sebagai sahabat.
            Bagi banyak orang, penderita sakit jiwa tidak mungkin bisa menjadi sahabat. Namun bagi saya orang sakit jiwa adalah sahabat yang baik. Mereka tidak ingin mencari keuntungan di dalam kebersamaan, tetapi tulus ikhlas memberikan diri sebagai teman. Mereka tidak menuntut banyak hal tetapi justru diam dan menuruti arahan pendamping. Mereka pun tidak ingin dimanja tetapi justru ingin hidup mandiri dan tidak bergantung pada orang lain.
            Dalam mengikuti ibadat natal bersama, para pasien diajak untuk mengusahakan kehadiran mereka sebagai pembawa sukacita bagi orang lain, sama seperti Yesus yang kelahiranNya membawa sukacita bagi dunia. Pada kesempatan tersebut, seorang pasien mensharingkan pengalaman kebersamaannya dengan anjing-anjing di panti. Ia merasa bahagia bisa berteman dan bermain bersama anjing-anjing. Sharingnya ini mengantar kami semua pada permenungan, “Kehadiran seekor anjing saja bisa menjadi sahabat yang mampu memberi kebahagiaan bagi manusia, apalagi kehadiran seorang manusia bagi sesamanya”
            Rupanya itulah yang menjadi dambaan mereka, yakni memperoleh kebahagiaan dalam kebersamaan dengan orang lain. Maka kehadiran saya dan rekan-rekan frater kiranya bisa memberi sedikit kebahagiaan bagi mereka. Ketika saya bertanya apakah mereka bahagia dengan kehadiran kami, semua menjawab “Ya”. Alasan yang mereka kemukakan sangat beragam. Ada yang bahagia karena mempunyai teman untuk bersharing, ada yang bahagia karena merasa diperhatikan, ada pula yang bahagia karena merasa lebih ramai ketika kami hadir. Namun yang terpenting bukanlah pujian mereka pada kami melainkan kebahagiaan mereka berkat kehadiran kami.
            Kehadiran kami dan para pendamping dalam hidup mereka adalah sebuah tugas perutusan. Perutusan ini terwujud dalam persahabatan dengan mereka. Yesus sendiri menyebut kita sebagai sahabat maka kita pun perlu menjadi sahabat bagi orang lain, tak terkecuali penderita sakit jiwa. Apapun dan siapapun mereka, mereka tetap menjadi sahabat Yesus, juga sahabat kita.

Alfius Tandirassing
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta dan calon imam diosesan Keuskupan Agung Makassar.

Komentar

Postingan Populer