Membangun Kerajaan Allah
Membangun Kerajaan Allah
Sikap saling mengerti dan menghormati sangat diperlukan untuk mencapai hidup yang harmonis dan damai. Sikap ini perlu dikembangkan dalam diri, baik secara individual maupun komunal. Dengan memiliki sikap saling mengerti dan menghormati, berarti kita telah membangun Kerajaan Allah yang harmonis dan damai.
Kesadaran sebagai Citra Allah
Dalam mengembangkan sikap pengertian dan rasa hormat, diperlukan sebuah kesadaran bahwa segala sesuatu adalah ciptaan Allah. Manusia diciptakan oleh Allah menurut citraNya. Manusia harus saling menghormati sebagai citra Allah. Ketika seorang tidak mampu mengerti dan menghormati sesamanya, berarti ia tidak mampu mengerti dan menghormati citra Allah. Namun, tidak semua orang memiliki kesadaran bahwa segala sesuatu adalah ciptaan Tuhan. Banyak orang memiliki rasa ego yang terlalu tinggi. Berbagai cara dilakukan demi mencapai kepentingan diri atau kelompok sendiri. Martabat sesama tidak diindahkan sehingga tidak ada lagi sikap mengerti dan menghormati orang lain. Keadaan seperti ini disebut “Homo Homini Lupus” oleh seorang filsuf bernama Thomas Hobbes. Artinya manusia adalah serigala bagi sesamanya. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan Kerajaan Allah.
Sekarang ini, banyak orang cenderung hidup dalam egoisme. Kepekaan untuk mengerti dan menghormati orang lain sepertinya sudah langka. Salah satu faktor penyebabnya adalah tersedianya berbagai fasilitas yang mampu memenuhi kebutuhan sendiri. Afeksi dengan orang lain menjadi berkurang dan seolah-olah orang seperti itu hidup dalam dunianya sendiri. Mereka teralienasi dari dunia sosial. Keadaan seperti ini perlu dihindari dalam hidup menggereja.
Kesadaran sebagai Anggota Gereja
Dalam hidup menggereja, setiap orang beriman dituntut untuk bisa “hidup sebagai Gereja”. Gereja dalam hal ini bukan hanya sebagai sebuah tempat untuk berkumpul dan melakukan peribadatan. Gereja berarti persekutuan orang-orang yang beriman kepada Yesus Kristus. Dalam persekutuan tersebut, diharapkan setiap orang beriman mampu belajar untuk mengerti orang lain, tidak hanya dengan individu di dalam Gereja komunal tetapi juga antara Gereja dengan dunia di luar Gereja.
Yesus sebagai guru utama telah lebih dahulu memberikan contoh sikap dan tindakan yang bisa dilakukan oleh Gereja, yakni mengajar orang banyak, menyembuhkan orang sakit, memberi makan kepada orang lapar, dsb. Inilah bentuk perhatian yang telah dilakukan oleh Yesus sebagai teladan bagi orang beriman. Namun pertanyaannya, sejauh mana Gereja telah melanjutkan karya-karya Yesus sebagai bentuk pengertian, perhatian, dan rasa hormat terhadap sesama?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya berangkat dari refleksi berikut. Bulan Oktober yang lalu, saya berkunjung ke sebuah panti rehabilitasi gangguan jiwa. Di sana saya melihat ada banyak orang yang mengalami gangguan kejiwaan sehingga mereka membutuhkan perhatian khusus. Mereka dibina dalam suatu komunitas kasih yang penuh pengertian dan rasa hormat. Melalui berbagai kegiatan, seperti berolahraga, melukis, dsb, mereka diajak untuk bisa mandiri dan mampu mengendalikan diri.
Menurut sharing dari Bruder pemimpin panti tersebut, orang-orang yang memiliki gangguan jiwa itu malah dihindari oleh orang banyak, bahkan diperlakukan secara tidak manusiawi. Mereka dibentak, dipukuli, atau bahkan dipasung. Kiranya hal seperti ini bukanlah tindakan yang terpuji. Mereka harus dimengerti sebagai orang yang ‘khusus’. Mereka semestinya diberi perhatian khusus, yakni pendekatan secara psikologis melalui kegiatan aktif atau proses pembinaan yang sesuai dengan tahap-tahap penanganan gangguan kejiwaan. Lalu bagaimana sikap kita terhadap mereka?
Perlakuan secara tidak hormat malah akan menambah tekanan jiwa. Akibatnya, gangguan kejiwaan yang dideritanya akan semakin kronis dan membutuhkan waktu yang sangat lama dalam pemulihannya. Nah, hal yang perlu kita renungkan bukanlah tindakan apa yang mereka lakukan melainkan tindakan apa yang kita lakukan terhadap mereka. Maka kehadiran bruder dan kongregasinya dalam penanganan karya tersebut merupakan salah satu bentuk kehadiran Gereja untuk mengerti dan menghormati sesama.
Demikian pun halnya dalam kehidupan komunal, misalnya agama. Terkadang agama-agama tertentu menganggap diri sebagai yang paling utama dan paling benar, tak terkecuali umat Kristiani. Tiap pemeluk agama menganggap diri sebagai orang yang paling benar. Akibatnya, tidak ada keingingan untuk mengenal, mengerti, bahkan menghormati agama lain. Kita hanya mengenal agama kita saja sehingga tidak dapat mengerti tentang agama lain dan bahkan terkadang tidak ingin tahu tentang agama lain. Itulah sebabnya sering muncul berbagai kerusuhan agama karena tidak adanya sikap saling mengerti dan menghormati antar pemeluk agama. Kalau keadaan seperti itu terjadi terus menerus maka hidup harmonis dan damai tidak akan pernah terwujud dan Kerajaan Allah yang diiming-imingkan tidak akan pernah tercapai.
Inilah situasi-situasi konkrit yang ada di sekitar kita. Kita tidak mungkin bisa menghindari situasi tersebut. Selama hidup, kita akan bersama-sama dengan orang lain yang diwarnai dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Nobody is perfect, tidak ada manusia yang sempurna. Maka sudah sewajarnya kita berbagi perhatian kepada orang lain dan saling memperlakukan selayaknya manusia yang manusiawi.
Entah disadari atau tidak, sikap saling mengerti dan menghormati akan membuat kita bahagia dan hidup damai. Kita bahagia ketika dimengerti oleh orang lain. Demikian pun sebaliknya, orang lain bahagia ketika ia merasa dimengerti dan dihormati. Sudah selayaknyalah kita saling membahagiakan demi hidup harmonis dan damai. Dengan demikian, kita telah mengambil bagian dalam terciptanya Kerajaan Allah di dunia ini.
Fr. Alfius Tandirassing
Penulis adalah calon imam Diosesan Keuskupan Agung Makassar di Seminarium Anging Mammiri dan mahasiswa Fakultas Kepausan Teologi Wedabhakti Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar